Prof. Dr. Muhammad Quraish Shihab (lahir di Rappang, Sulawesi Selatan, 16 Februari 1944; umur 66 tahun) adalah seorang cendekiawan muslim dalam ilmu-ilmu Al Qur'an dan mantan Menteri Agama pada Kabinet Pembangunan VII (1998).
Nama lengkapnya adalah Muhammad Quraish Shihab. Ia lahir tanggal 16 Februari 1944 di Rapang, Sulawesi Selatan.[1] Ia berasal dari keluarga keturunan Arab yang terpelajar. Ayahnya, Prof. Abdurrahman Shihab adalah seorang ulama dan guru besar dalam bidang tafsir. Abdurrahman Shihab dipandang sebagai salah seorang ulama, pengusaha, dan politikus yang memiliki reputasi baik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan. Kontribusinya dalam bidang pendidikan terbukti dari usahanya membina dua perguruan tinggi di Ujungpandang, yaitu Universitas Muslim Indonesia (UMI), sebuah perguruan tinggi swasta terbesar di kawasan Indonesia bagian timur, dan IAIN Alauddin Ujungpandang. Ia juga tercatat sebagai rektor pada kedua perguruan tinggi tersebut: UMI 1959-1965 dan IAIN 1972–1977.
Sebagai seorang yang berpikiran progresif, Abdurrahman percaya bahwa pendidikan adalah merupakan agen perubahan. Sikap dan pandangannya yang demikian maju itu dapat dilihat dari latar belakang pendidikannya, yaitu Jami’atul Khair, sebuah lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Murid-murid yang belajar di lembaga ini diajari tentang gagasan-gagasan pembaruan gerakan dan pemikiran Islam. Hal ini terjadi karena lembaga ini memiliki hubungan yang erat dengan sumber-sumber pembaruan di Timur Tengah seperti Hadramaut, Haramaian dan Mesir. Banyak guru-guru yang di¬datangkarn ke lembaga tersebut, di antaranya Syaikh Ahmad Soorkati yang berasal dari Sudan, Afrika. Sebagai putra dari seorang guru besar, Quraish Shihab mendapatkan motivasi awal dan benih kecintaan terhadap bidang studi tafsir dari ayahnya yang sering mengajak anak-anaknya duduk bersama setelah magrib. Pada saat-saat seperti inilah sang ayah menyampaikan nasihatnya yang kebanyakan berupa ayat-ayat al-Qur'an. Quraish kecil telah menjalani pergumulan dan kecintaan terhadap al-Qur’an sejak umur 6-7 tahun. Ia harus mengikuti pengajian al-Qur’an yang diadakan oleh ayahnya sendiri. Selain menyuruh membaca al-Qur’an, ayahnya juga menguraikan secara sepintas kisah-kisah dalam al-Qur’an. Di sinilah, benih-benih kecintaannya kepada al-Qur’an mulai tumbuh.[2]
Pendidikan formalnya di Makassar dimulai dari sekolah dasar sampai kelas 2 SMP. Pada tahun 1956, ia di kirim ke kota Malang untuk “nyantri” di Pondok Pesantren Darul Hadis al-Faqihiyah. Karena ketekunannya belajar di pesantren, 2 tahun berikutnya ia sudah mahir berbahasa arab. Melihat bakat bahasa arab yg dimilikinya, dan ketekunannya untuk mendalami studi keislamannya, Quraish beserta adiknya Alwi Shihab dikirim oleh ayahnya ke al-Azhar Cairo melalui beasiswa dari Propinsi Sulawesi, pada tahun 1958 dan diterima di kelas dua I'dadiyah Al Azhar (setingkat SMP/Tsanawiyah di Indonesia) sampai menyelasaikan tsanawiyah Al Azhar. Setelah itu, ia melanjutkan studinya ke Universitas al-Azhar pada Fakultas Ushuluddin, Jurusan Tafsir dan Hadits. Pada tahun 1967 ia meraih gelar LC. Dua tahun kemudian (1969), Quraish Shihab berhasil meraih gelar M.A. pada jurusan yang sama dengan tesis berjudul “al-I’jaz at-Tasryri’i al-Qur'an al-Karim (kemukjizatan al-Qur'an al-Karim dari Segi Hukum)”. Pada tahun 1973 ia dipanggil pulang ke Makassar oleh ayahnya yang ketika itu menjabat rektor, untuk membantu mengelola pendidikan di IAIN Alauddin. Ia menjadi wakil rektor bidang akademis dan kemahasiswaan sampai tahun 1980. Di samping mendududki jabatan resmi itu, ia juga sering mewakili ayahnya yang uzur karena usia dalam menjalankan tugas-tugas pokok tertentu. Berturut-turut setelah itu, Quraish Shihab diserahi berbagai jabatan, seperti koordinator Perguruan Tinggi Swasta Wilayah VII Indonesia bagian timur, pembantu pimpinan kepolisian Indonesia Timur dalam bidang pembinaan mental, dan sederetan jabatan lainnya di luar kampus. Di celah-celah kesibukannya ia masih sempat merampungkan beberapa tugas penelitian, antara lain Penerapan Kerukunan Hidup Beragama di Indonesia (1975) dan Masalah Wakaf Sulawesi Selatan (1978).
Untuk mewujudkan cita-citanya, ia mendalami studi tafsir, pada 1980 Quraish Shihab kembali menuntut ilmu ke almamaternya, al-Azhar Cairo, mengambil spesialisasi dalam studi tafsir al-Qur'an. Ia hanya memerlukan waktu dua tahun untuk meraih gelar doktor dalam bidang ini. Disertasinya yang berjudul “Nazm ad-Durar li al-Biqa’i Tahqiq wa Dirasah (Suatu Kajian dan analisa terhadap keotentikan Kitab Nazm ad-Durar karya al-Biqa’i)” berhasil dipertahankannya dengan predikat dengan predikat penghargaan Mumtaz Ma’a Martabah asy-Syaraf al-Ula (summa cum laude).
Pendidikan Tingginya yang kebanyakan ditempuh di Timur Tengah, Al-Azhar, Cairo ini, oleh Howard M. Federspiel dianggap sebagai seorang yang unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Mengenai hal ini ia mengatakan sebagai berikut: "Ketika meneliti bio¬grafinya, saya menemukan bahwa ia berasal dari Sulawesi Selatan, terdidik di pesantren, dan menerima pendidikan ting¬ginya di Mesir pada Universitas Al-Azhar, di mana ia mene¬rima gelar M.A dan Ph.D-nya. Ini menjadikan ia terdidik lebih baik dibandingkan dengan hampir semua pengarang lainnya yang terdapat dalam Popular Indonesian Literature of the Quran, dan lebih dari itu, tingkat pendidikan tingginya di Timur Tengah seperti itu menjadikan ia unik bagi Indonesia pada saat di mana sebagian pendidikan pada tingkat itu diselesaikan di Barat. Dia juga mempunyai karier mengajar yang penting di IAIN Makassar dan Jakarta dan kini, bahkan, ia menjabat sebagai rektor di IAIN Jakarta. Ini merupakan karier yang sangat menonjol".[3]
Tahun 1984 adalah babak baru tahap kedua bagi Quraish Shihab untuk melanjutkan kariernya. Untuk itu ia pindah tugas dari IAIN Makassar ke Fakultas Ushuluddin di IAIN Jakarta. Di sini ia aktif mengajar bidang Tafsir dan Ulum Al-Quran di Program S1, S2 dan S3 sampai tahun 1998. Di samping melaksanakan tugas pokoknya sebagai dosen, ia juga dipercaya menduduki jabatan sebagai Rektor IAIN Jakarta selama dua periode (1992-1996 dan 1997-1998). Setelah itu ia dipercaya menduduki jabatan sebagai Menteri Agama selama kurang lebih dua bulan di awal tahun 1998, hingga kemudian dia diangkat sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh Republik Indonesia untuk negara Republik Arab Mesir merangkap negara Republik Djibouti berkedudukan di Kairo.
Kehadiran Quraish Shihab di Ibukota Jakarta telah memberikan suasana baru dan disambut hangat oleh masyarakat. Hal ini terbukti dengan adanya berbagai aktivitas yang dijalankannya di tengah-tengah masyarakat. Di samping mengajar, ia juga dipercaya untuk menduduki sejumlah jabatan. Di antaranya adalah sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat (sejak 1984), anggota Lajnah Pentashhih Al-Qur'an Departemen Agama sejak 1989. Dia juga terlibat dalam beberapa organisasi profesional, antara lain Asisten Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI), ketika organisasi ini didirikan. Selanjutnya ia juga tercatat sebagai Pengurus Perhimpunan Ilmu-ilmu Syariah, dan Pengurus Konsorsium Ilmu-ilmu Agama Dapertemen Pendidikan dan Kebudayaan. Aktivitas lainnya yang ia lakukan adalah sebagai Dewan Redaksi Studia Islamika: Indonesian journal for Islamic Studies, Ulumul Qur 'an, Mimbar Ulama, dan Refleksi jurnal Kajian Agama dan Filsafat. Semua penerbitan ini berada di Jakarta.
Di samping kegiatan tersebut di atas, M.Quraish Shihab juga dikenal sebagai penulis dan penceramah yang handal. Berdasar pada latar belakang keilmuan yang kokoh yang ia tempuh melalui pendidikan formal serta ditopang oleh kemampuannya menyampaikan pendapat dan gagasan dengan bahasa yang sederhana, tetapi lugas, rasional, dan kecenderungan pemikiran yang moderat, ia tampil sebagai penceramah dan penulis yang bisa diterima oleh semua lapisan masyarakat. Kegiatan ceramah ini ia lakukan di sejumlah masjid bergengsi di Jakarta, seperti Masjid al-Tin dan Fathullah, di lingkungan pejabat pemerintah seperti pengajian Istiqlal serta di sejumlah stasiun televisi atau media elektronik, khususnya di.bulan Ramadhan. Beberapa stasiun televisi, seperti RCTI dan Metro TV mempunyai program khusus selama Ramadhan yang diasuh olehnya.
Quraish Shihab memang bukan satu-satunya pakar al-Qur'an di Indonesia, tetapi kemampuannya menerjemahkan dan meyampaikan pesan-pesan al-Qur'an dalam konteks kekinian dan masa post modern membuatnya lebih dikenal dan lebih unggul daripada pakar al-Qur'an lainnya. Dalam hal penafsiran, ia cenderung menekankan pentingnya penggunaan metode tafsir maudu’i (tematik), yaitu penafsiran dengan cara menghimpun sejumlah ayat al-Qur'an yang tersebar dalam berbagai surah yang membahas masalah yang sama, kemudian menjelaskan pengertian menyeluruh dari ayat-ayat tersebut dan selanjutnya menarik kesimpulan sebagai jawaban terhadap masalah yang menjadi pokok bahasan. Menurutnya, dengan metode ini dapat diungkapkan pendapat-pendapat al-Qur'an tentang berbagai masalah kehidupan, sekaligus dapat dijadikan bukti bahwa ayat al-Qur'an sejalan dengan perkembangan iptek dan kemajuan peradaban masyarakat.
Quraish Shihab banyak menekankan perlunya memahami wahyu Ilahi secara kontekstual dan tidak semata-mata terpaku pada makna tekstual agar pesan-pesan yang terkandung di dalamnya dapat difungsikan dalam kehidupan nyata. Ia juga banyak memotivasi mahasiswanya, khususnya di tingkat pasca sarjana, agar berani menafsirkan al-Qur'an, tetapi dengan tetap berpegang ketat pada kaidah-kaidah tafsir yang sudah dipandang baku. Menurutnya, penafsiran terhadap al-Qur'an tidak akan pernah berakhir. Dari masa ke masa selalu saja muncul penafsiran baru sejalan dengan perkembangan ilmu dan tuntutan kemajuan. Meski begitu ia tetap mengingatkan perlunya sikap teliti dan ekstra hati-hati dalam menafsirkan al-Qur'an sehingga seseorang tidak mudah mengklaim suatu pendapat sebagai pendapat al-Qur'an. Bahkan, menurutnya adalah satu dosa besar bila seseorang mamaksakan pendapatnya atas nama al-Qur'an.[4]
Quraish Shihab adalah seorang ahli tafsir yang pendidik. Keahliannya dalam bidang tafsir tersebut untuk diabdikan dalam bidang pendidikan. Kedudukannya sebagai Pembantu Rektor, Rektor, Menteri Agama, Ketua MUI, Staf Ahli Mendikbud, Anggota Badan Pertimbangan Pendidikan, menulis karya ilmiah, dan ceramah amat erat kaitannya dengan kegiatan pendidikan. Dengan kata lain bahw ia adalah seorang ulama yang memanfaatkan keahliannya untuk mendidik umat. Hal ini ia lakukan pula melalui sikap dan kepribadiannya yang penuh dengan sikap dan sifatnya yang patut diteladani. Ia memiliki sifat-sifat sebagai guru atau pendidik yang patut diteladani. Penampilannya yang sederhana, tawadlu, sayang kepada semua orang, jujur, amanah, dan tegas dalam prinsip adalah merupakan bagian dari sikap yang seharusnya dimiliki seorang guru.
Karya
Yang tak kalah pentingya, Quraish Shihab sangat aktif sebagai penulis. Beberapa buku yang sudah Ia hasilkan antara lain :
- Tafsir Al-Manar, Keistimewaan dan Kelemahannya (Ujung Pandang: IAIN Alauddin, 1984)
- Filsafat Hukum Islam (Jakarta:Departemen Agama, 1987);
- Mahkota Tuntunan Ilahi (Tafsir Surat Al-Fatihah) (Jakarta:Untagma, 1988)
- Membumikan Al Qur'an (Bandung:Mizan, 1992) . Buku ini merupakan salah satu Best Seller yang terjual lebih dari 75 ribu kopi.
- Fatwa-Fatwa (Bandung:Mizan). Buku ini adalah kumpulan pertanyaan yg dijawab oleh Muhammad Quraish Shihab dan terdiri dari 5 seri : Fatwa Seputar Al Qur'an dan Hadits; Seputar Tafsir Al Qur'an; Seputar Ibadah dan Muamalah; Seputar Wawasan Agama; Seputar Ibadah Mahdhah.
- Lentera Hati: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007)
- Lentera Al Qur'an : Kisah dan Hikmah Kehidupan (Republish, 2007)
- Mukjizat Al Qur'an : Ditinjau dari Aspek Kebahasaan, Aspek Ilmiah, dan Pemberitaan Gaib (Republish, 2007)
- Secercah Cahaya Ilahi : Hidup Bersama Al-Quran (Republish, 2007)
- Wawasan Al Qur'an: Tafsir Tematik atas Pelbagai Persoalan Umat (Republish, 2007)
- Haji Bersama M. Quraish Shihab
- Tafsir Al-Mishbah, tafsir Al-Qur’an lengkap 30 Juz (Jakarta: Lentera Hati)
0 komentar:
Posting Komentar