Apakah Sebuah Hadits Benar Benar Diucapkan oleh Nabi atau Tidak? Tinjauan Kritis Atas Cara Pandang Terhadap Hadits

Kita semua mengetahui bahwa Ulama yang membukukan hadits Nabi tidak pernah bertemu langsung dengan Nabi. Mereka semuanya hidup sekitar 200 tahun setelah Nabi wafat; Imam Bukhary (wafat 256 H / 870M), Imam Muslim (wafat 261H / 875M),  Imam Ibn Majah (wafat 273H/ 886M), Imam Abu Dawud (wafat 275H /  866M), Imam Tirmidzi wafat 279H / 892M), dan Imam Nasai (wafat 303H/ 916M). Mereka inilah yang mengumpulkan meneliti kemudian menuliskan hadits Nabi menjadi sebuah kitab hadits yang kita kenal sekarang. Masalahnya adalah, 200 tahun bukanlah masa yang pendek, lalu bagaimana kita menilai sebuah hadits? Apakah Sebuah Hadits Benar Benar Diucapkan Nabi atau Tidak? Jangan jangan,......
Ketika kita membaca sebuah Hadits Nabi, sebagai berikut
A mendengar dari  B bahwa C mendengar Nabi berkata,”(isi dari perkataan nabi)”
maka sebenarnya hanya ada dua kemungkinan:
pertama si A B dan C  semuanya benar
kedua si A B atau C salah satu atau ketiganya tidak benar

Kemungkinan pertama bisa terjadi hanya apabila
A B dan C adalah mukmin yang jujur dan hafalannya kuat,
Ketiganya bersambungan masa hidupnya (A bertemu B dan B bertemu C)
A bertemu langsung dengan penyusun Hadits dan C bertemu langsung dengan Nabi

Kemungkinan kedua terjadi karena beberapa hal:
A B atau C salah satu atau ketiga tidak bisa dipercaya
A B atau C salah satu atau ketiganya lemah hafalan
A B atau C tidak bersambung masa hidupnya, (A tidak ketemu B atau B tidak ketemu C)
A tidak bertemu dengan penyusun Hadits
C tidak bertemu dengan Nabi

Tentu saja untuk lebih mendalami kita harus belajar khusus masalah hadits ini. Tetapi yang paling utama kita harus ketahui adalah bahwa  dalam masalah otentisitas, Hadits tidaklah seperti Quran.  Quran telah dibukukan sejak masa Abu Bakar menjadi Khalifah. Saat itu Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib masih Hidup. (Keempatnya adalah sahabat utama Nabi yang hidup sangat dekat bersama Nabi) Jika ada yang tidak tepat mengenai penulisan Quran tentu sudah diluruskan pada masa itu. Sedangkan Hadits baru dibukukan 200 tahun setelah masa Nabi. Hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap keotentikan Hadits. Apalagi masa masa penentangan Muawiyah terhadap Ali bin Abi Thalib dan sesudahnya merupakan masa mulai bercampurnya pernyataan agama dengan politik, sehingga penelusuran keaslian sebuah hadits menjadi sebuah kajian yang tidak mudah.

Kalau kita mengutip ayat Quran, maka tidak perlu ragu,.. bagian manapun yang kita kutip maka itu adalah benar benar Firman Allah (kita hanya tinggal meneliti relevansi kutipan ayat tersebut dengan topik yang dibahas). Tidak demikian dengan hadits. Ketika kita mengutip sebuah hadits maka pertanyaan utama yang sudah harus terjawab adalah Apakah Hadits Tersebut Benar Benar Diucapkan oleh Nabi atau Tidak?

Jika ragu ragu sebaiknya kita tinggalkan, karena teramat riskan apabila ternyata Nabi tidak pernah mengatakan hal tersebut. Kita bisa masuk dalam kategori orang yang berbohong atas nama Nabi

Dalam banyak kasus sebenarnya kita masih tetap bisa memberikan hujjah (argumentasi yang kuat meski hadits yang sudah kita pilih tidak jadi kita pakai. Malahan seringkali ternyata kita bisa temukan beberapa ayat Quran yang menerangkan masalah tersebut. Dalam keadaan demikian maka tidak ada pilihan lain kecuali kembali kepada Quran dan meninggalkan Hadits tersebut (setidaknya sampai kita dapatkan keterangan yang meyakinkan mengenai keaslian hadits tsb)

Namun beberapa orang mengatakan,”Tapi ini hadits shahih lhoh,…. Ini hadits Bukhari lho,... ini hadits Bukhari Muslim lho,”

Memang benar ulama menyepakati bahwa kitab kumpulan Hadits karya Bukhari dan Muslim adalah yang paling baik diantara karya imam yang lain. Makna dari kata “paling baik” bukan berarti tanpa kesalahan. Artinya Tidak semua yang tercantum dalam Kitab Bukhari dan Muslim adalah mutlak benar.
Artinya kita wajib meneliti kembali sampai mendapatkan keyakinan bahwa hadits tersebut benar benar diucapkan oleh Nabi.

Bahkan sebuah hadits yang tanpa cacat dari segi periwayatan nya pun masih harus melewati satu lagi pemeriksaan yaitu cross check dengan ayat Quran mengenai masalah serupa. Jika ternyata isi hadits tidak sejalan dengan pengertian ayat Quran, maka Hadits itu tidak bisa dipakai. Kecuali jika ada penafsiran logis tertentu yang bisa memberikan alasan kuat bahwa Hadits tersebut sebenarnya bersesuaian dengan makna ayat Quran yang dimaksud.

Penelitian seperti inilah yang dipelajari dalam Ilmu Mustholah Hadits. Bagi yang mampu dan berminat untuk mempelajari Hadits tentu merupakan keutamaan sendiri. Bagi yang tidak bisa merujuk pada pendapat-pendapat para ulama kemudian memilih mana yang paling baik menurut kita.

Yang terpenting adalah kita harus berani meneliti hadits yang akan kita pakai sebagai hujjah. Jangan sampai kita mengemukakan bahwa Nabi telah berkata,"........" dst ternyata sebenarnya Nabi tidak mengatakan hal demikian tadi

Wa Llahu a'lam bis showab     (by adil muhammadisa)

Share on Google Plus

About Adil Muhammadisa

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the "Biographical Info" field in the user admin panel.
    Blogger Comment
    Facebook Comment

0 komentar:

Posting Komentar