Mengejar akhirat sembari menolak keduniaan menjadi isu penting dalam tasawuf. Mementingkan dimensi batiniyah sembari mengabaikan hal yang bersifat lahiriyah menjadi tema sentral dalam perbincangan para sufi. Makna keikhlasan dan pengorbanan yang diangkat secara dramatis membuat pengertian ikhlas dalam paradigma sufi menjadi tidak sama dari apa yang dijelaskan Allah dalam Quran. Kenapa demikian?
SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF
Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali.
Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, “Madzhab kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah.”
Dia (Al-Junaid) juga berkata, “Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, meninggalkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu’amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia.”
Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu.
Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka.
Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, “Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan.” Kemudian ada yang mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba’ sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: “Jauhilah dia!” (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169).
0 komentar:
Posting Komentar