Seorang karyawan di sebuah penerbit kitab-kitab berbahasa Arab suatu hari bertanya kepada atasannya yang berdarah Arab dan lulusan sebuah perguruan Timur Tengah tentang makna sebuah ayat. Ia dibuat heran ketika sang atasan menjawab dengan nada mengeluh, “Waduh, saya kok tidak mengerti ya? Padahal ini ‘kan Quran. Seharusnya ‘kan saya mengerti.”
Seorang dosen bahasa Arab di Universitas Indonesia berkata, “Orang Arab sekarang lebih menyukai bahasa Inggris daripada bahasa mereka sendiri. Kalau kita pergi ke negara-negara Arab, dan berbicara kepada mereka dengan bahasa Arab yang baik (fushah), mereka akan menyahut dengan bahasa pasar (suqiy) yang tidak kita pahami. Itu cara mereka memancing kita menggunakan bahasa Inggris
Seorang sarjana bahasa Arab lulusan Universitas Indonesia, suatu hari berkunjung ke sebuah kedutaan negara Timur Tengah. Ketika berhadapan dengan para petugas di situ, ia mengatakan bahwa tidak menguasai bahasa Amiah, karena itu ia akan menggunakan bahasa resmi. Para petugas itu mengiyakan. Tapi sarjana baru ini kemudian dibuat kaget ketika mendapati para petugas itu bicara perlahan, terbata-bata, dan di sana-sini melakukan kesalahan tata-bahasa. Ketika pembicaraan selesai, salah seorang petugas mengaku bahwa berbicara dengan bahasa Arab yang baik bagi mereka adalahmusykilah (sulit).
Seorang dosen agama di IKIP Jakarta juga bercerita tentang pengalamannya pertama kali datang ke Arab. Ia yang sudah begitu tekum mempelajari bahasa Arab di tanahairnya setibanya di Arab menjadi bingung karena setiap orang yang dijumpainya tidak ada yang memahami kata-katanya, sehingga ia terpaksa menggunakan bahasa Inggris. Namun ketika menginap di hotel ia ‘beruntung’ karena bertemu seorang porter yang memahami bahasa Arabnya. Kepada orang inilah ia bertanya mengapa orangorang Arab yang dijumpainya tidak memahami kata-katanya. “Sungguh, saya merasa malu karena saya pikir bicara saya mungkin salah,” katanya.
“Tidak, bahasa anda baik sekali,” kata si porter, tapi, “kalamuka laysa kalamuna wa lakin kalamul-anbiya’ wal-mursalin wal-’ulama’.” (Bahasa yang anda gunakan itu bukan bahasa kami tapi bahasa para nabi, para rasul, dan ulama).
Setelah terbengong agak lama, sang dosen bertanya, “Tapi kok anda bisa mengerti?”
“Saya pernah belajar di perguruan tinggi.”
Tapi belajar di perguruan tinggi pun ternyata tidak menjadi jaminan untuk dapat memahami bahasa para nabi itu. Seorang karyawan di sebuah penerbit kitab-kitab berbahasa Arab suatu hari bertanya kepada atasannya yang berdarah Arab dan lulusan sebuah perguruan Timur Tengah tentang makna sebuah ayat. Ia dibuat heran ketika sang atasan menjawab dengan nada mengeluh, “Waduh, saya kok tidak mengerti ya? Padahal ini ‘kan Quran. Seharusnya ‘kan saya mengerti.”
Tuntutan logis peradaban?
Kecenderungan masyarakat Arab modern terhadap bahasa Inggris juga telah lama disoroti oleh Hassan Al-Banna. Dalam sebuah buku yang memuat sepuluh nasihatnya, ia menyatakan keprihatinannya karena mereka bukan saja lebih fasih berbahasa Inggris dalam percakapan tapi juga dalam menulis:
“Mula-mula musibah yang menghancurkan bangsa Arab merobohkan potensi yang ada, adalah keteledoran mereka sendiri. Mereka banyak menyia-nyiakan waktu dan meremehkan bahasa agama (Islam). Mereka tidak berani menekuni secara menyeluruh dalam mempelajari bahasa itu sehingga menjadi bahasa tulis dan percakapan. Mereka lebih cenderung dan lebih fasih menggunakan bahasa asing. Lebih fasih dalam memakai, menyusun kata dalam berbicara. Semakin kuat kefasihan berbahasa, kebanyakan manusia cenderung memakainya, kecuali orang yang benar-benar dipelihara Allah.
Bagian dari menekuni bahasa secara ini ialah menyebarluaskan dan membudayakan kepada golongan dan kelompok-kelompok, memberikan motivasi yang dapat melahirkan semangat tinggi untuk menghasilkan suatu penelaahan arti kata dan pemikirannya kepada generasi muda. Sebab kesatuan bahasa adalah jalan merealisasikan amal secara mutlak. Merupakan keuntungan dalam upaya mencip-takan satu pola pikir dan pemikiran.” Demikian Hassan Al-Banna dalam Washa al-’Asyr Li-l-Imam Asy-Syahid Hassan Al-Banna.
Manna Khalil al-Qattan, dalam bukunya Mabahitsu fi ‘ulumil-Qur-an mencoba memberikan gambaran logis tentang kenyataan tersebut:
“Fenomena yang kita saksikan dewasa ini tentang pentingnya mempelajari bahasa-bahasa asing bagi bangsa Arab, sehingga bangsa ini dapat mengirimkan misi-misi ilmiah ke berbagai univesitas negara-negara lain atau dapat mengkaji buku-buku induk ilmu pengetahuan alam di universitas-universitasnya, mengingat buku-buku tersebut dalam bahasa asing dan oleh pengarang asing pula, merupakan tuntutan logis dari kebutuhan akan ilmu dan peradaban.Kita melihat buku-buku asing tersebut telah menyebarkan pengaruhnya dalam pemikiran sebagian besar orang, menentukan kecenderungan-kecenderungan mereka dalam pola kehidupan, dan bahkan sampai pada tingkat kecintaan dan kegemaran terhadapnya serta ekspansi seni-seninya. Buku-buku itu telah membawa pengaruh besar terhadap moral, kebiasaan dan tradisi yang menyebabkan kehidupan kita pada umumnya dan dalam berbagai coraknya keluar dari ciri-ciri Islam dan nilai-nilai positifnya. Padahal bangsa-bangsa lain tidak merasa perlu menerjemahkan buku-buku mereka ke dalam bahasa Arab, mengingat status ilmiahnya. Seandainya negeri-negeri Islam konsisten pada jalan kebangkitannya yang pertama, baik dari segi ilmu, peradaban, politik, etika, kekuasaan maupun kewibawaannya, tentulah segala penjuru dunia akan menghormati mereka dan berkeinginan untuk mempelajari bahasa Arab agar dapat menimba secara langsung dari sumbernya segala produk pemikiran Islam, untuk menyirami kehausan akan ilmu pengetahuan, bernaung di bawah kekuasaan mereka dan berlindung di bawah kedaulatannya. Dan tentu pula dunia akan melihat kebutuhan seperti yang kita rasakan dewasa ini, yakni kebutuhan kita terhadap bahasa dunia.
Anglophile atau Anglomania?
Timbulnya bahasa Inggris sebagai “bahasa dunia” tidak terlepaskan dari sejarah bangsa Inggris yang mencapai puncak kejayaan pada akhir abad sembilan belas dan awal abad dua puluh. Pada waktu itu kerajaan (imperium) Inggris adalah kerajaan terbesar di dunia, dengan kekuasaan yang meliputi hampir seperempat bagian dunia. Puluhan negara dan bangsa yang jatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan Inggris otomatis menjadikan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka. Kemudian, dengan munculnya Amerika Serikat sebagai negara adidaya semakin kokohlah pengaruh bahasa Inggris di dunia, karena bangsa Amerika pun menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa mereka. Dengan kata lain, bahasa Inggris tumbuh semakin meng-global (mendunia).
Bila bahasa Inggris kita anggap bahasa Barat (memang kenyataannya demikian), maka globalisasi bahasa Inggris berarti globalisasi pengaruh Barat. Bila kebudayaan Barat dipandang sebagai kebudayaan hebat, maka tidak perlu heran bila kebanyakan manusia di dunia merasa bangga karena mampu berbahasa Inggris, dan merasa minder bila tidak bisa berbahasa Inggris. Apalagi bila ditambah dengan dalil bahwa kebanyakan buku-buku ilmiah ditulis dalam bahasa Inggris, sehingga orang yang tidak mengerti bahasa Inggris berarti tidak kenal ilmu atau dangkal ilmunya. Munculnysa peralatan canggih seperti komputer (dan kemudian internet), yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantarnya, semakin menguatkan anggapan itu.
Karena hebatnya pengaruh Inggris, sebagai salah satu dampaknya timbullah berbagai penyakit, di antaranyaAnglophile dan Anglomania. Yang pertama berarti pemujaan terhadap bangsa dan budaya Inggris, sedangkan yang kedua berarti kegilaan terhadap apa saja yang berbau Inggris. Sultan Omar dari Brunei, ayah sultan Brunei sekarang (Hassanal Bolkiah), adalah seorang Anglophile. Salah satu tokoh yang dipujanya adalah Winston Churchil, negarawan, perwira, dan pengarang Inggris yang pernah menerima hadiah Nobel. Bila kita pergi ke Brunei, di sana akan kita jumpai sebuah museum yang dibuat oleh Sultan Omar, satu-satunya museum di dunia yang dibangun demi mengenang Churchil. Di dalamnya tersimpan berbagai benda yang pernah dimiliki Churchil, mulai dari pakaian seragam, buku-buku, gambar-gambar, foto-foto, rekaman pidato, dan lain-lain.
Bukan cuma alat komunikasi
Dalam pengertian yang telah mashur, bahasa dikatakan sebagai “alat komunikasi” alias sarana untuk berhubungan antar manusia. Bila kita cermati lebih jauh, dalam komunikasi itulah terjadi pemindahan atau pertukaran pengetahuan, informasi, gagasan, dan sebagainya. Bahkan kemudian berkat komunikasilah timbul saling pengaruh kebiasaan, saling pengaruh kebudayaan. Tentu saja kata saling di sini tidak bisa kita beri pengertian harfiah, karena kenyataannya komunikasi sering berlangsung satu arah, karena arus dari satu pihak lebih besar dan deras sementara dari pihak lainnya sangat kecil dan lemah. Muatan pengetahuan, informasi, dan gagasan adalah penentu besar-kecilnya atau deras-lemahnya arus tersebut. Karena itu sungguh aneh bila ada orang mengatakan, “Untuk menguasai suatu bangsa, kuasailah bahasanya.”
Tentu saja, dengan menguasai bahasa suatu bangsa kita akan dapat simpati dari bangsa itu, karena dengan demikian berarti kita telah memudahkan mereka berkomunikasi dengan kita, karena mereka tetap menggunakan bahasa ibu mereka. Selanjutnya, bertentangan dengan pameo di atas, bila kita sudah menguasai bahasa suatu bangsa, terbukalah kemungkinan bagi bangsa itu untuk menaklukkan kita! Terutama bila bangsa itu memang bangsa yang maju, sehingga di dalam bahasanya termuat segala pengetahuan, informasi, dan gagasan yang berpengaruh (mempengaruhi kita!).
Unsur pemersatu
Sebagai bangsa Indonesia kita dipersatukan, antara lain, oleh Bahasa Nasioal Indonesia. Tapi sebagai warga dunia yang tidak luput dari hempasan gelombang globalisasi, kita pun bisa dipersatukan dengan bangsa-bangsa lain dengan bahasa yang pengaruhnya mendunia. Dengan kata lain, karena suatu bahasa tidak bisa dipisahkan dengan muatan budayanya, maka pada akhirnya seluruh bangsa di dunia ini bisa menjadi manusia-manusia berbeda ras namun hanya mempunyai satu kebudayaan. Tentu saja kebudayaan tersebut adalah kebudayaan Barat! Inilah yang menjadi pemicu kecemasan bagi pihak-pihak yang prihatin terhadap nasib kebudayaan bangsanya yang terancam arus globalisasi. Dalam hal ini mereka yang tegas anti globalisasi memandang globalisasi sama dengan gombalisasi, alias penggombalan (penurunan nilai, pelecehan) budaya bangsa sendiri.
Namun bagaimana pun globalisasi adalah arus zaman, dan bukan sesuatu yang baru. Pada zaman Rasulullah pun sudah ada globalisasi, dalam arti terjadinya pergaulan antar bangsa yang pada akhirnya menjadi sarana penyebaran kebudayaan suatu bangsa yang berpengaruh, karena dianggap sebagai bangsa yang maju. Pada masa itu pun sudah ada kekuatan Blok Barat dan Blok Timur. Belahan bumi barat, yaitu wilayah Timur Tengah, Eropa Selatan, dan Afrika Utara, waktu itu sudah dikuasai Imperium Romawi yang beragama Kristen. Sedangkan sebelah timur dari Jazirah Arab, yaitu daerah-daerah yang kini menjadi Iran, Irak, Afganistan, dan Pakistan, pada waktu itu semua terletak dalam kekuasaan Imperium Persia Baru. Turunnya Quran pada awal abad ketujuh Masehi tidak diragukan lagi merupakan ‘senjata’ dari Allah untuk menangkal arus pengaruh kedua blok kekuasaan tersebut. Selanjutnya, Quran menjadi pemersatu bangsa Arab dan menjadi identitas bangsa tersebut. Kemudian, ketika pengaruh Quran terhadap mereka pudar, mereka pun kembali berpecah-belah, kehilangan identitas, dan jatuh ke tangan berbagai penjajah.
Bahasa dan kepribadian
Tanpa menguasai bahasa, manusia tidak akan bisa berpikir, karena thinking involves the manipulation of symbols, and the most complete and convenient system of symbols is our language.[1] (Berpikir melibatkan penggunaan lambang-lambang, dan sistem lambang yang paling lengkap serta menyenangkan adalah bahasa kita). Sebaliknya, ditemukan pula kenyataan bahwa kekacauan seseorang dalam berbahasa mengisyaratkan kekacauan orang tersebut dalam berpikir.
Bahasa memegang peranan penting, dan mendasar, dalam pembentukan kepribadian. Latihan penguasaan bahasa di sekolah dengan pembiasaan menulis indah, rapi, dan bersih, sangat menentukan dalam pembentukan kepribadian yang tekun, sabar, dan jujur. Tentu saja latihan ini harus diiringi dengan latihan penggunaan bahasa secara aktif dengan penekanan pada pemilihan kata dan kalimat yang tepat, dan latihannya dilakukan intensif mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Kesadaran akan soal ini sudah lama dimiliki bangsa Jepang. Anak-anak Jepang pada zaman Samurai, misalnya, sejak kecil telah diwajibkan berlatih menulis kaligrafi huruf Kanji yang rumit itu setiap hari selama berjam-jam, tak peduli meskipun mereka sedang dilanda cuaca dingin yang membekukan.
Di sekolah kita, sampai kini, pelajaran bahasa Indonesia memang dianggap penting. Namun yang patut diprihatinkan adalah metode penyampaiannya yang tidak menarik, dan para pengajarnya juga umumnya kurang menguasai materi yang mereka ajarkan. Yang paling memprihatinkan adalah tiadanya kesadaran bahwa pelajaran bahasa adalah dasar pembentukan kepribadian, sehingga tentu harus ditangani dengan sangat serius. Di sekolah sendiri, pengajaran bahasa yang baik akan membantu kelancaran proses belajar-mengajar. Sebab cuma dengan penguasaan bahasa yang baik para guru dapat menyampaikan materi pelajaran secara maksimal, dan para pelajar pun dapat memahami pelajaran secara maksimal. Selain itu, penguasaan bahasa Indonesia yang baik juga dapat menumbuhkan kebanggaan terhadap bahasa sendiri, sehingga tidak minder untuk membawanya ke dunia internasional, dan tentu saja kita pun jadi tidak ‘tergila-gila’ pada bahasa asing. Sebaliknya, dengan penguasaan bahasa Indonesia yang baik, kita pun dapat pula memahami dan menerjemahkan bahasa asing dengan baik. Untuk yang terakhir ini, penulis punya pengalaman yang menarik. Suatu ketika bersama seorang teman penulis mewawancarai seorang pengusaha yang beristri penerbang. Keduanya berdarah Sunda tulen, dan agaknya mempunyai darah menak (bangsawan), tapi gaya hidup yang mereka pilih adalah gaya hidup Eropa. Setiap hari mereka pun saling berbicara dengan bahasa Belanda atau Inggris. Kata-kata dari kedua bahasa itulah yang sering muncul di tengah percakapan kami yang menggunakan bahasa Indonesia, yang agaknya menyiksa lidah mereka. Sang istri bahkan bertanya kepada penulis tentang arti kata alert (Inggris: waspada) dalam bahasa Indonesia. Barangkali mereka ini adalah wakil dari suatu generasi yang merasa bangga karena kita pernah dijajah bangsabangsa asing (yang maju!).
Bahasa dan Islam
Islam adalah satu-satunya agama yang memandang bahasa sebagai alat yang penting untuk memelihara keutuhan dan kemurnian ajarannya. Karena itulah ada kelompok ulama yang berpendapat bahwa Quran tidak boleh diterjemahkan ke bahasa lain. Namun segolongan lain berpendapat bahwa penerjemahan itu boleh, bahkan harus dilakukan, namun naskah aslinya tidak boleh diabaikan. Pendapat pertama nampak kaku dan sempit. Namun sebenarnya di situ tersirat suatu sikap bertanggung-jawab yang mendalam. Dengan tidak boleh diterjemahkan, berarti tidak perlu ada kitab-kitab tandingan bagi Quran. Dengan demikian juga berarti bahwa siapa pun yang ingin memahami Quran maka ia harus mempelajari bahasanya. (Ini dilakukan para orientalis, namun jarang dilakukan umat Islam!). Bila prinsip ini ditegakkan, maka kegiatan mempelajari bahasa Quran akan digalakkan. Bahasa Quran akan menjadi bahasa kedua umat Islam setelah bahasa ibunya. Bahasa Quran akan menjadi bahasa pergaulan, menjadi alat pemersatu, menjadi identitas umat Islam sedunia. Dengan kata lain, terjadilah globalisasi bahasa Quran. Keutuhan Quran akan semakin terjamin. Bila bangsa-bangsa yang berbahasa Inggris (dan bahasa-bahasa lain) tidak mau menerjemahkan buku-buku ilmiah mereka ke bahasa Arab (dan bahasa-bahasa lain), karena alasan ingin mempertahankan nilai ilmiahnya, maka Quran pun tidak perlu diterjemahkan ke bahasa apa pun demi memelihara nilai ilmiahnya! Dengan demikian, umat Islam pun akan mendapatkan pengetahuan agama yang obyektif, karena akrab dengan kitab sucinya, karena peran bahasa difungsikan dalam pendidikan, dalam proses pembentukan kepribadian Islami.
Sayang, akhirnya pendapat kedualah yang menang, meskipun mungkin cuma sementara. Pendapat yang kedua ini memang terasa moderat (lunak) dan praktis, sehingga bisa diterima secara umum. Karena itulah kini kita menjumpai banyak buku terjemahan maupun tafsir Quran, dengan tulisan aslinya yang selalu diletakkan di sisi terjemahannya; seolah mengingatkan bahwa penerjemahan Quran tidak akan pernah berhasil sempurna. Namun yang tidak sempurna itulah (dalam arti bisa salah fatal) yang akhirnya dicekokkan kepada umat yang awam.
Selanjutnya pandangan yang moderat itu pun melahirkan dampak yang memprihatinkan. “Berbicara tentang terjemahan Quran merupakan fenomena kelemahan kedaulatannya,” tulis Manna Khalil al-Qattan dalam Mabahitsu fi ‘Ulumil-Qur`an. Begitulah kenyataannya.
Bahkan kita lihat dalam kenyataan seharihari bagitu banyak orang yang ‘fanatik’ terhadap Islam, lancar berbicara tentang Islam, namun membaca mushaf mereka tidak bisa, atau cuma bisa terbata-bata seperti anak kecil yang belum hafal nama-nama huruf. Bagi mereka bahasa Quran memang merupakan bahasa yang sangat asing, bila dibandingkan dengan bahasa Inggris dan “bahasa-bahasa penting” lainnya, karena mempelajarinya pun mereka tidak mau. Ironisnya, mereka justru punya setumpuk argumen untuk menentang pentingnya mempelajari bahasa Quran.
Teman penulis, seorang sarjana ilmu dakwah IAIN, suatu ketika berkata, “Kenapa harus susah-susah belajar bahasa Arab? Bukankah terjemahan Quran sudah banyak dibuat orang, dan buku-buku agama sudah banyak yang diterbitkan dalam bahasa Indonesia?”
Itulah contoh dari sekelompok orang yang cenderung instant minded, mau serba cepat, sehingga agama pun dianggap sebagai sejenis fast food, seperti mie instant, yang bisa dimakan setelah dimasak lima menit, atau langsung saja disantap seperti kerupuk, bila perlu.
Mereka tidak menyadari fungsi bahasa sebagai alat pembentukan kepribadian; tidak memahami bahwa dalam suatu bahasa terkandung suatu bentuk kebudayaan.
Kita tentu tidak bisa menyalahkan bila orang kelaparan ingin cepat melahap makanan yang ditemukannya. Juga tidak bisa disalahkan bila orang-orang sibuk ingin menyantap makanan sambil terus sibuk bekerja. Tapi soalnya, tidak semua jenis makanan bisa diproses secara kilat. Tidak semua jenis makanan bisa diolah menjadi instant food. Bahkan juga tidak semua jenis makanan bisa cukup lezat, memuaskan, dan menyehatkan dengan hanya diambil sarinya saja. Begitu banyak makanan penting yang harus kita makan secara alami, sehingga kita bisa menikmati rasa, aroma, serta khasiatnya bagi tubuh kita. Bahkan konon vitamin apel justru terkumpul dalam kulitnya, sehingga bodohlah orang yang makan buah apel dengan mengupas kulitnya!
Quran tentu lebih istimewa dari buah apel. Bila anda mengatakan bahwa yang terpenting dari Quran adalah isinya, anda juga harus tahu bahwa isi Quran tidak akan dapat dicernakan dengan baik, tidak akan menjadi darah dan daging, bila anda membuang kulitnya (bahasa aslinya).
Pengasingan bahasa Quran terjadi karena kecerobohan dan kelalaian umat Islam, politik penjajah, dan selanjutnya karena ‘kepanikan’ para juru da’wah. Yang terakhir, mungkin karena ingin mengislamkan orang secara cepat, demi mengejar dan kemudian mempertahankan kuantitas, maka langsung atau tidak langsung mereka memandang bahasa Quran sebagai penghambat bagi “syi’ar Islam”. Padahal dalam Quran ada sejumlah ayat yang melarang kita bersikap tergesa-gesa, dan beberapa ayat lain, yang didukung banyak Hadis, menyuruh kita berusaha mempelajari Quran secara perlahan. Lagipula, Allah sendiri menurunkan Quran secara bertahap, selama sekitar 23 tahun.
Belakangan ini telah tumbuh subur taman kanak-kanak Al-Quran yang menggunakan metode IQRA dan sebagainya. Kita pun sering dibuat takjub dengan penampilan anak-anak kecil yang belum bisa mengucapkan huruf R namun sudah lincah membaca Quran. Metode pengajaran membaca Quran yang praktis telah ditemukan di Indonesia (dan konon sudah diekspor ke Arab!).
Namun kesadaran untuk mempelajari bahasa Quran masih memprihatinkan. Bahkan cukup sulit menemukan guru agama, guru mengaji, imam masjid, pengajar IQRA, yang mengenal bahasa Quran. Karena itu tidak aneh bila setelah tamat belajar paket IQRA, khatam membaca Quran, anak-anak kecil itu kemudian cuma mendapat pelajaran tambahan berupa teori tajwid yang dilagukan, plus pelajaran menyanyi “lagu-lagu Islam” dan pelajaran menari (tarian Islam?).
Alangkah baiknya bila setelah lancar membaca Quran anak-anak itu (juga para orang dewasa) kemudian dibimbing mempelajari bahasa Quran dengan cara mudah dan menyenangkan. Alangkah baiknya bila lagu-lagu yang diajarkan kepada anak-anak itu digubah dalam bahasa Arab, bukan dalam bahasa Inggris seperti yang kini banyak beredar. Syair-syair berbahasa Inggris yang diiringi lagu-lagu indah sudah banyak dibuat orang. Haruskah kita membantu usaha mereka lagi?
Ketika meluncurkan album lagu anak-anak muslim dua bahasa, Indonesia dan Inggris, Neno Warisman mengatakan kepada para wartawan bahwa penggunaan bahasa Inggris itu bukan untuk pamer kemampuan berbahasa Inggris, tapi kerena pertimbangan pemasaran di luar negeri. Dengan kata lain, bila bahasa Inggris diganti dengan bahasa Arab, misalnya, kaset Neno tersebut tak bisa diedarkan di luar negeri, walaupun di negeri-negeri berbahasa Arab. Soalnya, seperti sudah disinggung pada awal naskah ini, orang Arab pun kini lebih menyukai bahasa Inggris
0 komentar:
Posting Komentar